Rabu, 18 Juli 2018

Empat tahun penantian tak sia-sia. Piala dunia telah usai, jam tidur masih kacau karena bergadang hampir sebulan penuh. Sekali lagi, semuanya tak sia-sia. Perhelatan empat tahunan kali ini adalah yang terbaik seumur hidupku. Dihiasi dengan gol-gol indah, pertandingan-pertandingan dengan hasil tak terduga, dari awal hingga final.

Rusia Sebagai Tuan Rumah

Pada awalnya banyak yang rancu terhadap Rusia sebagai negara tuan rumah, hal ini tak lepas dari sisa-sisa propaganda perang dingin yang hingga kini masih dipercayai banyak orang. Bukannya ingin membela negara bekas Soviet ini, karena kekerasan yang dilakukan negara terhadap warga negaranya sendiri memang sering terjadi, toh hal ini juga tak berbeda dari negara dunia lainnya. Karena kita tak bisa mengelak bahwa negara sebenarnya adalah satu-satunya yang boleh menggunakan kekerasan (monopoli kekerasan).

Ketegangan antar pendukung juga masih ada, dendam dua tahun lalu di Prancis antara pendukung Inggris dan tuan rumah Rusia. Sepertinya dendam itu tak terlaksana, karena hingga final tak ada bentrokan hebat yang terjadi, tak seperti Euro dua tahun lalu. Rusia berhasil menjaga ketegangan di luar lapangan.



Kejutan dan Kontroversi

Kembali ke lapangan hijau, banyak pertandingan-pertandingan dengan hasil menakjubkan. Jerman yang hancur ditangan Korea Selatan mungkin menjadi momen pertama yang akan diingat jika kita berbicara World Cup 2018 ini di masa mendatang. Sang juara bertahan dengan skuad muda bahkan tak mampu meloloskan diri dari fase grup, bahkan mereka hanya mampu mencetak dua gol.

Hal sebaliknya justru terjadi kepada Tuan Rumah. Rusia membuka perhelatan dengan kemenangan meyakinkan 5-0 terhadap Arab Saudi. Dua kemengan dan satu kekalahan dari Uruguay membuat mereka lolos dari grup sebagai runner-up. Tak banyak yang menyangka Rusia mampu lolos dari fase grup, Mesir lebih diunggulkan karena Salah dianggap mampu membawa Mesir melaju  ke fase selanjutnya, namun sisa cideranya menjadi luka Mesir.

Salah tak mampu tampil maksimal, ia tampak seperti tak ingin bermain. Senyuman khasnya tak terlihat selama ia bermain, walaupun berhasil menyetak satu gol. Cidera bukan satu-satunya yang membuat Salah tak mampu mengeluarkan senyum, aktivitas PSSI-nya Mesir yang menggunakan Salah sebagai alat politik mereka, ia "dipaksa" untuk bertemu dan berfoto bersama dengan pemimpin Negara Ceko, yang melakukan kekerasan HAM seperti, diskriminasi terhadap perempuan, persekusi terhadap komunitas LGBTQ dan menyingkirkan semua lawan politiknya.

Mesir bahkan kalah melawan Arab Saudi di pertandingan terkahir mereka dan pulang tanpa poin. Tuan rumah menjadi runner-up dan harus berhadapan dengan Spanyol. Kejutan kembali terjadi, tiki-taka tak bisa digunakan saat adu penalti. 120 Menit Spanyol hanya mampu berputar-putar di lapangan hijau. Lebih dari seribu passing, namun tak ada gunanya. Akinfeev mencuri panggung dengan aksi gemilang saat adu penalti. 

Selain gol-gol indah, hasil pertandingan mengejutkan, kontroversi juga terjadi. Bukan hanya karena mulai diterapkannya teknologi yang bernama VAR, tapi juga kontroversi selebrasi gol yang dilakukan oleh dua pemain Swiss yang berdarah Albania. Hal ini dikarenakan perang yang terjadi di daerah Balkan pada tahun 1992-1995. Banyak Etnis Albania dibunuh oleh Etnis Serbia, hasilnya banyak Etnis Albania yang melarikan diri ke negara-negara terdekat, salah satunya Swiss.


Dua pencetak gol Swiss pada pertandingan melawan Serbia adalah keterunun Etnis Albania, kedua orang tuanya mengungsi di Swiss, akhirnya menjadi warga negara Swiss dan menjadi bagian dari Timnas Swiss. Selebrasi Elang Kepala Dua menggambarkan lambang Albania, selebrasi ini dilakukan untuk menunjukkan perlawanan kepada Serbia, dan mungkin sedikit rasa dendam yang masih terjaga. Bukan tanpa alasan jika Xhaka dan Shaqiri melakukan selebrasi tersebut, sebelumnya para pendukung Serbia menyanyikan "bunuh suku Albania agar suku Kroasia tak ada saudara" dan juga menggunakan baju bergambarkan wajah Ratko Mladic yang merupakan seorang Jendral Serbia, ia bahkan disebut dengan nama panggilan "The Butcher of Bosnia". ia membantai komunitas muslim Bosnia yang mayoritasnya merupakan etnis Albania. Jadi sekali lagi, sepakbola tak bisa lepas dari isu politik.

It's Not Coming Home

Rusia 2018 hadir tanpa "soundtrack" mengesankan. Tak seperti 2010 dengan lagu Waka Waka dan Wavin Flag. Lagu resmi piala dunia kali ini terasa biasa saja, lagu yang mencuri perhatian justru dari Inggris. It's coming home dari The Lightning Seeds, walau awalnya lagu ini bisa dikatakan humor tentang buruknya penampilan Inggris pada saat ajang besar empat tahunan ini. Dari berita berjudulkan lagu tersebut, hingga menjadi meme di lini masa Twitter. Penampilan Inggris bisa dikatakan cukup baik, mereka dapat mematahkan kesialannya yang selalu kalah pada saat adu penalti. Sialnya Inggris tak berdaya saat melawan Kroasia, lini tengah Inggris kalah telak menghadapi duo La Liga, Rakitic dan Modric walau sempat unggul pada awal pertandingan. Tempat ketiga pun tak mampu Inggris rebut, kekalahan kedua mereka terhadapa Belgia. Serangan balik Belgia memang susah diantisipasi, bahkan Brasil pun keteteran.

Vive La Pussy Riot

Berisi generasi muda yang bertalenta, Prancis bisa dibilang merupakan satu-satunya kesebelasan dengan konsistensi yang baik. Tak terkalahkan sejak fase grup, sialnya mereka juga merusak rekor baik piala dunia kali ini yang sebelumnya tak memiliki hasil imbang. Saat melawan Argentina Kante berhasil menahan kreatifitas Messi. Gol-gol indah tercipta, pertandingan luar biasa dengan hasil akhir yang pastinya menghibur para penonton.

Puncak pertandingan tiba, bertemu Kroasia yang tak diduga-duga mampu mencapai final. Semua orang sangat menyukai cerita "David versus Goliath". Banyak yang berharap negara kecil Kroasia mengalahkan Prancis. Sayangnya sepakbola bukan dongeng, taktik Prancis yang pragmatis berhasil mengatasi permainan baik Kroasia. Enam gol tercipta di final kali ini, sungguh pertandingan yang berkesan.

Beberapa menit menjelang waktu normal berakhir, terjadi insiden tak terduga. Beberapa orang masuk ke dalam lapangan. Seperti yang banyak diberitakan, Pussy Riot band Punk Anarkis bertanggung jawab terhadap insiden tersebut. Mereka dibenci, dicaci maki oleh pecinta sepakbola sejati. Dianggap merusak dan mengganggu jalannya pertandingan. Namun banyak yang tak memahami pesan yang disampaikan, mereka hendak menyampaikan enam poin yang mereka tegaskan melalui akun instagram mereka.




Sepakbola memang bukan hanya sekadar permainan, tapi ada yang jauh lebih penting yaitu kemanusian.




Post a Comment: