Jumat, 20 Oktober 2017

Beberapa bulan yang lalu aku mulai membaca buku George Orwell berjudul Homeage Catalonia, sebuah tulisan jurnalis Orwell yang kemudian mengubah pandangan politiknya. Orwell bergabung dengan P.O.U.M sebuah partai serikat pekerja Marxis yang mengangkat senjata bersama dengan militan Anarkis melawan Franco Diktator Fasis. Belum lama ini, dunia khususnya Eropa heboh. Katalonia mulai bergejolak. Kali ini bukan melawan Diktator Fasis, namun mencoba membebaskan diri dari Spanyol. 

Seperti yang diketahui, Barcelona merupakan Ibukota region Katalonia. Jika Katalonia dengan referendumnya berhasil memisahkan dan membuat negara sendiri, maka Barcelona juga akan ikut berpisah dengan Spanyol dan La Liga sebagai liga kasta utama Spanyol. Banyak desas-desus kabar yang menyebutkan Barcelona akan “mengungsi” ke Ligue 1 France.  Jika ini terjadi, maka Neymar akan kembali dalam bayang-bayang Messi hahahaha…

Namun secara logika sederhana walau Katalonia berhasil memisahkan diri dari Spanyol, tak mungkin rasanya para petinggi La Liga mencoret Barcelona begitu saja. Karena kembali pada pasar, keuntungan, hak siar dan lainnya, El Classico merupakan derby yang ditunggu-tunggu penggemar sepakbola seluruh dunia. 

Jika sudah seperti ini, sepakbola masuk dalam politik atau justru sebaliknya. Pernah mendengar kalimat “jangan campur adukan politik dengan sepakbola!”. Tidak mungkin sepakbola bisa lepas dari politik. Baik Klub dan Negara yang tercatat oleh FIFA memiliki latar belakang sejarah politik yang berbeda-beda. Para pesepakbola, manajer, pelatih hingga fans yang merupakan aktor utama, memiliki identitas politik masing-masing. Ada yang memiliki ideologi sayap kiri (komunis, sosialis, anarkis) sentris (liberal) hingga sayap kanan (konservatif, fasis).

Berikut beberapa Pesepakbola dengan pandangan politik yang kuat:
  • Abbiati, eks penjaga gawang AC Milan yang sudah pensiun ini merupakan seorang Fasis.
  • Aquilani, simpatisan Benito Mussolini yang merupakan pemimpin partai fasis Italia.
  • Paulo Di Canio, eks Lazio/Juve/West Ham dengan terang-terangan mengakui dirinya sebagai seorang Fasis
  • Josep Simunic, mantan pemain timnas Kroasia ini adalah seorang simpatisan Ustashe, gerakan revolusioner Fasis Kroasia yang beraliansi dengan NAZI selama perang dunia kedua. Ustashe juga pernah membuat kamp konsentrasi korbannya berjumlah paling tidak 300.000 korban jiwa. Diantaranya adalah etnis Serbia, Komunis, dan orang-orang Muslim (sekarang Bosnia).
  • Fabrizio Miccoli (Juve/Benfica) dan Lucarelli memiliki paham komunis. Lucarelli khususnya, orang asli Livorno. Daerah kelas pekerja yang memiliki akar sebagai komunitas komunis.
  • Campbell. Eks pemain belakang Arsenal ini seorang konservatif keras. Dia bahkan ingin mencalonkan diri sebagai Walikota London melalui Partai Tory (Partai Konservatif Inggris)
  • Javier Zanetti, siapa tak kenal legenda hidup Inter Milan satu ini. Walau tak sering masuk media olahraga, ia merupakan simpatisan Zapatista. Kelompok militan Revolusioner Mexico yang berideologi Anarko-Komunis. Dia pernah menulis surat kepada Zapatista sebagai bentuk dukungan terhadap perjuangan para anggota Zapatista.
Bukan hanya pesepakbola sebagai individu memiliki identitas politik, beberapa klub sepakbola juga memiliki pandangan politik yang kuat. Seperti yang dijelaskan di awal, sejarah politik pada kota asal klub memengaruhi masyarakat di sekitar yang juga mendukung klub asal kotanya sendiri, baik sesudah atau sebelum klub sepakbola berdiri. Bentrokan ideologi juga sering terjadi dalam pertandingan sepakbola. 

Diantara beberapa klub dengan pandangan politik yang kuat, Livorno adalah contoh radikal. Mayoritas Ultras Livorno berideologi Komunis. Klub tersebut bahkan selalu merayakan hari ulang tahun Stalin. 

Walau Livorno tak lagi berada di Serie A, pertemuan mereka dengan Lazio menjadi mimpi buruk bagi polisi setempat. Livorno dengan mayoritas ultras dari kalangan kaum kelas pekerja, sedangkan Lazio dari kalangan kaum kelas atas. Bukan hanya itu, kebencian ultras Livorno terhadap Lazio dikarenakan Diktator Fasis Italia Benito Mussolini merupakan pendukung setia Lazio.


Mungkin kita heran dengan Italia, pertikiain ideologi hingga masuk ke dalam ranah sepakbola. Walau begitu, mereka tetaplah raksasa dunia sepakbola, empat kali juara adalah bukti nyata dari kehebatan mereka. 

Apakah hanya di Italia? Tidak. Hampir di setiap negara eropa memiliki klub sepakbola dengan pandangan politik yang kuat. Sejarah politik dan kultur sepakbola telah menyatu. 

Celtic, raksasa sepakbola Skotlandia juga satu dari sekian banyak klub sepakbola dengan kesadaran politik. Bendera Basque (Ibukota Region Bilbao, kota dari klub Athletic Bilbao) selalu berkibar di setiap pertandingan yang melibatkan Celtic, kandang maupun tandang. Bendera Palestina juga selalu ada, hal ini dilakukan oleh para pendukung Celtic sebagai dukungan terhadap orang-orang Basque (yang juga ingin pisah dari Spanyol) dan masyarakat Palestina dari imperialis Zionis Israel.


Mungkin anda bertanya-tanya, mengapa Celtic dengan mayoritas pendukungnya beragama Katolik mendukung Palestina yang mayoritas muslim? Ini dikarenakan Green Brigade (pendukung Celtic) memiliki paham Sosialisme. Mereka memiliki semboyan "anti-fasis, anti-rasis, anti-sektarian". Derby antara Celtic dan Rangers atau lebih dikenal dengan istilah The Old Firm Derby juga bernuansa politik. Tidak hanya berhenti pada perbedaan politik, ideologi dan agama pun membuat derby ini semakin panas. Pendukung Rangers dengan mayoritas konservatif dan beragama Protestan, sangat bertolak belakang dengan Green Brigade. Tragedi politik berupa perpecahan antara Irlandia dan Irlandia Utara pun ikut turut serta dalam derby yang luar biasa ini. Mayoritas Green Brigade adalah campuran imigran dari Irlandia dan Skotlandia, pendukung kaum Republikan Irlandia sedangkan Rangers adalah pendukung kaum Loyalis Irlandia. Begitulah sejarah politik memengaruhi sepakbola.

Tak lengkap rasanya membahas Politik dan Sepakbola tanpa menyebut FC St. Pauli. Sekarang kita menuju Jerman. Klub ini sudah lama tidak merasakan kasta tertinggi sepakbola Jerman, sekarang mereka berada pada kasta kedua atau lebih dikenal dengan Bundesliga 2. Banyak media menyebut klub ini dengan julukan "Hipster Sepakbola", mungkin karena FC St. Pauli berbeda dengan klub-klub mainstream lainnya 


Sejarah musik punk memengaruhi para pendukung setia FC St. Pauli. Bahkan mereka juga bekerja sama dengan Band Dropkick Murphys. Mayoritas Ultrá Sankt Pauli (pendukung St. Pauli) memiliki paham sayap kiri. Ultrá Sankt Pauli sering terlibat bentrok dengan komunitas Neo-Nazi Jerman, khususnya dalam laga tandang. St. Pauli memiliki hubungan persahabatan yang kuat dengan Green Brigade Celtic. Hal ini dikarenakan ideologi dan semboyan St. Pauli "anti-fasis, anti-rasis, anti-seksis, anti-homophobia" yang hampir sama dengan Green Brigade.

*ᴶᶦᵏᵃ ᵃᵈᵃ ʸᵃⁿᵍ ˢᵃˡᵃʰ, ˢᶦˡᵃᵏᵃⁿ ᵈᶦᵏᵒʳᵉᵏˢᶦ*

Post a Comment: