Hmm Bacaan yang Berbahaya, Mungkin.
Pada
suatu hari lahir seorang calon Jenderal, yang kemudian berhasil melakukan
kudeta dan mengubah Politik serta menciptakan propaganda yang masih mengakar
hingga saat ini. Bukan itu saja, beliau hmm tak pantas rasanya seorang yang
kejam disebut dengan “beliau”, that guy
juga merupakan diktator paling korup di zaman modern. Luar biasa? Tidak juga,
masih banyak yang menempel stiker “masih enak zaman ku, toh?”
Minimnya
minat membaca, ditambah lagi phobia terhadap bacaan yang “terlalu berbahaya”
membuat propaganda selama tiga puluh dua tahun berjalan mulus. Pada awalnya,
aku juga menikmati cara berpikir penuh ketakutan seperti anak dan remaja
biasanya. Namun rasa ingin tahu lebih mengasyikkan dari pada hanya takut tanpa
tau apa yang kita takuti.
Mulailah
bergerilya mencari kitab-kitab terlarang melalui sosial media. Menikmati tiap
lembaran buku-buku yang dianggap haram, perlahan membuka pintu pikiran yang
sempat tertutup rapat.
Ketidaktahuan
terhadap apa yang ditakuti adalah hal yang lucu. Menyamaratakan antara atheism
dengan sosialisme-komunisme cukup menggelikan. Tak pernah dijelaskan saat
sekolah, kenapa dua isme itu harus ditakuti. Tak seperti anak-anak Jerman yang
diajarkan sejarah kelam negaranya sendiri, aku tak pernah mendapat pengetahuan
tentang kenapa dua isme itu harus dijauhi, dibenci dan dimusuhi. Tak seperti
anak-anak Jerman yang diajarkan bahwa Nazi dengan Fasisme-nya menciptakan
genosida yang hingga saat ini selalu ada film baru dari USA tentang patriot ‘Murica
dan sekutu menghentikan invasi Nazi di Eropa.
Kalau
tidak salah sekitar tahun yang lalu,
sempat viral video bapak-bapak gondrong yang mengaku keturunan dari “tentara”
memukul seorang pemuda, dengan alas an pemuda itu menempelkan pin berlambang
palu arit di pakiannya atau mungkin tasnya. Mungkin bapak itu tidak tahu, atau
mungkin tidak pernah melihat stiker swastika Nazi yang banyak nempel di
kendaran bermotor. “Tapi…tapi Nazi benci Yahudi, musuh dari musuh kita adalah
teman” well umm, susah juga kalau mikirnya seperti itu.
Rasanya
masih sedikit pengetahuanku tentang gerakan kiri dunia. Karena barusan melihat
(mungkin) seorang Liberal yang secara tidak lagsung menyamakan antara Khilafah
dengan Sosialisme-Komunisme. Sedikit terkejut membacanya. Kebanyakan liberal
yang aku liat, selalu meneriakkan lawan patriarki, mendukung hak-hak LGBT, stop
diskriminasi kepada atheis lalu diam melihat kemiskinan, sedangkan 1% populasi
lainnya hidup mewah berlimpah.
Sosialis
adalah gerakan yang besar dengan banyak variasi. Tapi inti dari semua variasi
itu adalah masyarakat yang dikontrol oleh “workers” alias kaum pekerja. Dengan
satu tujuan, yaitu kesetaraan. Di mana situasi masyarakat yang lahir tanpa
harus terpisah menjadi dua bagian, yang satu kaya raya dan lainnya kelaparan.
Kemesraan that guy dengan USA pada
saat perang dingin, memengaruhi propaganda untuk melibas habis paham “kaum
pekerja yang mengontrol masyarakat”, ratusan ribu orang mati. Hingga kini tanpa
kepastian yang jelas. Chomsky pernah mengatakan di dalam bukunya “How The World Works” bahwa media USA
menyebut that guy sebagai pemimpin
moderat hahahaha...
Kembali
ke topik, variasi dari sosialis yaitu, democratic socialism, Marxism,
Marxism-Leninism, Stalinism, Trotskyism, Maoism, dan terkahir phobia masyarakat
Indonesia Communism.
Di dalam
masyarakat Komunis, kelas-kelas ditiadakan, alat-alat produksi dikendalikan
oleh para pekerja secara kolektif, The Means of Production (tujuan utama
produksi) bukan semata-mata keuntungan untuk satu orang atau suatu kelompok. Banyak
yang menganggap komunis adalah negara yang bersifat totalitarian. Namun
sebenarnya, definisi dari komunisme adalah masyrakat tanpa negara. Dan Private
Property tidak diperbolehkan, apa itu private property? Private property adalah
harta bisa berupa tanah, bangunan yang dipergunakan untuk keuntungan pribadi, bisa
juga berupa perusahaan pribadi. Sedangkan kepemilikan Personal Property tetap
diizinkan, barang-barang personal, seperti sikat gigi, rumah tempat tinggal,
mobil, laptop, handphone dan barang-barang personal lainnya.
Kenapa
mesti masyarakat tanpa negara? Berikut kutipan dari Frederich Engels;
“Negara,
dengan demikian, adalah sama sekali bukan merupakan kekuatan yang dipaksakan
dari luar kepada masyarakat, sebagai suatu sesempit 'realitas ide moral', 'bayangan
dan realitas akal' sebagaimana ditegaskan oleh Hegel. Malahan, negara adalah
produk masyarakat pada tingkat perkembangan tertentu; negara adalah pengakuan bahwa
masyarakat ini terlibat dalam kontrakdisi yang tak terpecahkan dengan dirinya sendiri,
bahwa ia telah terpecah menjadi segi-segi yang berlawanan yang tak terdamaikan dan
ia tidak berdaya melepaskan diri dari keadaan demikian itu. Dan supaya
segi-segi yang berlawanan ini, kelas-kelas yang kepentingan-kepentingan
ekonominya berlawanan, tidak membinasakan satu sama lain dan tidak membinasakan
masyarakat dalam perjuangan yang sia-sia, maka untuk itu diperlukan kekuatan
yang nampaknya berdiri di atas masyarakat, kekuatan yang seharusnya meredakan
bentrokan itu, mempertahankannya di dalam 'batas-batas tata tertib'; dan
kekuatan ini, yang lahir dari masyarakat, tetapi menempatkan diri di atas
masyarakat tersebut dan yang semakin mengasingkan diri darinya, adalah negara”
(dikutip dari Buku Negara dan Revolusi oleh Vladmir Lenin)
Sejauh
ini tidak ada negara Komunis, dalam arti masyarakat yang hidup stateless. Tapi
apakah agama bisa hidup berdampingan dengan paham ini? Aku tidak bisa memastikan,
karena agama adalah hal personal. Untuk melihat sebuah utopia di mana agama dan
paham ini hidup berdampingan, aku sarankan untuk membaca tentang Revolusi
Rojava, daerah utara Suriah perbatasan dengan Turki. Masyarakat di sana hidup
tanpa kelas, dan sistem produksi secara kolektifitas, hidup secara komunal.
Islam sebagai mayoritas, juga ada Christian. Dengan Suku Kurdi dan Arab membaur
tanpa mendiskriminasi satu sama lain. Bersama-sama melawan ISIS dan menjaga
keamanan wilayah mereka.
P.S: That Guy adalah Suharto hahahaha
Post a Comment: