Rabu, 10 Mei 2017

Pada suatu hari lahir seorang calon Jenderal, yang kemudian berhasil melakukan kudeta dan mengubah Politik serta menciptakan propaganda yang masih mengakar hingga saat ini. Bukan itu saja, beliau hmm tak pantas rasanya seorang yang kejam disebut dengan “beliau”, that guy juga merupakan diktator paling korup di zaman modern. Luar biasa? Tidak juga, masih banyak yang menempel stiker “masih enak zaman ku, toh?

Minimnya minat membaca, ditambah lagi phobia terhadap bacaan yang “terlalu berbahaya” membuat propaganda selama tiga puluh dua tahun berjalan mulus. Pada awalnya, aku juga menikmati cara berpikir penuh ketakutan seperti anak dan remaja biasanya. Namun rasa ingin tahu lebih mengasyikkan dari pada hanya takut tanpa tau apa yang kita takuti.

Mulailah bergerilya mencari kitab-kitab terlarang melalui sosial media. Menikmati tiap lembaran buku-buku yang dianggap haram, perlahan membuka pintu pikiran yang sempat tertutup rapat.

Ketidaktahuan terhadap apa yang ditakuti adalah hal yang lucu. Menyamaratakan antara atheism dengan sosialisme-komunisme cukup menggelikan. Tak pernah dijelaskan saat sekolah, kenapa dua isme itu harus ditakuti. Tak seperti anak-anak Jerman yang diajarkan sejarah kelam negaranya sendiri, aku tak pernah mendapat pengetahuan tentang kenapa dua isme itu harus dijauhi, dibenci dan dimusuhi. Tak seperti anak-anak Jerman yang diajarkan bahwa Nazi dengan Fasisme-nya menciptakan genosida yang hingga saat ini selalu ada film baru dari USA tentang patriot ‘Murica dan sekutu menghentikan invasi Nazi di Eropa.

Kalau tidak salah sekitar  tahun yang lalu, sempat viral video bapak-bapak gondrong yang mengaku keturunan dari “tentara” memukul seorang pemuda, dengan alas an pemuda itu menempelkan pin berlambang palu arit di pakiannya atau mungkin tasnya. Mungkin bapak itu tidak tahu, atau mungkin tidak pernah melihat stiker swastika Nazi yang banyak nempel di kendaran bermotor. “Tapi…tapi Nazi benci Yahudi, musuh dari musuh kita adalah teman” well umm, susah juga kalau mikirnya seperti itu.

Rasanya masih sedikit pengetahuanku tentang gerakan kiri dunia. Karena barusan melihat (mungkin) seorang Liberal yang secara tidak lagsung menyamakan antara Khilafah dengan Sosialisme-Komunisme. Sedikit terkejut membacanya. Kebanyakan liberal yang aku liat, selalu meneriakkan lawan patriarki, mendukung hak-hak LGBT, stop diskriminasi kepada atheis lalu diam melihat kemiskinan, sedangkan 1% populasi lainnya hidup mewah berlimpah.

Sosialis adalah gerakan yang besar dengan banyak variasi. Tapi inti dari semua variasi itu adalah masyarakat yang dikontrol oleh “workers” alias kaum pekerja. Dengan satu tujuan, yaitu kesetaraan. Di mana situasi masyarakat yang lahir tanpa harus terpisah menjadi dua bagian, yang satu kaya raya dan lainnya kelaparan. Kemesraan that guy dengan USA pada saat perang dingin, memengaruhi propaganda untuk melibas habis paham “kaum pekerja yang mengontrol masyarakat”, ratusan ribu orang mati. Hingga kini tanpa kepastian yang jelas. Chomsky pernah mengatakan di dalam bukunya “How The World Works” bahwa media USA menyebut that guy sebagai pemimpin moderat hahahaha...

Kembali ke topik, variasi dari sosialis yaitu, democratic socialism, Marxism, Marxism-Leninism, Stalinism, Trotskyism, Maoism, dan terkahir phobia masyarakat Indonesia Communism.

Di dalam masyarakat Komunis, kelas-kelas ditiadakan, alat-alat produksi dikendalikan oleh para pekerja secara kolektif, The Means of Production (tujuan utama produksi) bukan semata-mata keuntungan untuk satu orang atau suatu kelompok. Banyak yang menganggap komunis adalah negara yang bersifat totalitarian. Namun sebenarnya, definisi dari komunisme adalah masyrakat tanpa negara. Dan Private Property tidak diperbolehkan, apa itu private property? Private property adalah harta bisa berupa tanah, bangunan yang dipergunakan untuk keuntungan pribadi, bisa juga berupa perusahaan pribadi. Sedangkan kepemilikan Personal Property tetap diizinkan, barang-barang personal, seperti sikat gigi, rumah tempat tinggal, mobil, laptop, handphone dan barang-barang personal lainnya.

Kenapa mesti masyarakat tanpa negara? Berikut kutipan dari Frederich Engels;

“Negara, dengan demikian, adalah sama sekali bukan merupakan kekuatan yang dipaksakan dari luar kepada masyarakat, sebagai suatu sesempit 'realitas ide moral', 'bayangan dan realitas akal' sebagaimana ditegaskan oleh Hegel. Malahan, negara adalah produk masyarakat pada tingkat perkembangan tertentu; negara adalah pengakuan bahwa masyarakat ini terlibat dalam kontrakdisi yang tak terpecahkan dengan dirinya sendiri, bahwa ia telah terpecah menjadi segi-segi yang berlawanan yang tak terdamaikan dan ia tidak berdaya melepaskan diri dari keadaan demikian itu. Dan supaya segi-segi yang berlawanan ini, kelas-kelas yang kepentingan-kepentingan ekonominya berlawanan, tidak membinasakan satu sama lain dan tidak membinasakan masyarakat dalam perjuangan yang sia-sia, maka untuk itu diperlukan kekuatan yang nampaknya berdiri di atas masyarakat, kekuatan yang seharusnya meredakan bentrokan itu, mempertahankannya di dalam 'batas-batas tata tertib'; dan kekuatan ini, yang lahir dari masyarakat, tetapi menempatkan diri di atas masyarakat tersebut dan yang semakin mengasingkan diri darinya, adalah negara” (dikutip dari Buku Negara dan Revolusi oleh Vladmir Lenin)

Sejauh ini tidak ada negara Komunis, dalam arti masyarakat yang hidup stateless. Tapi apakah agama bisa hidup berdampingan dengan paham ini? Aku tidak bisa memastikan, karena agama adalah hal personal. Untuk melihat sebuah utopia di mana agama dan paham ini hidup berdampingan, aku sarankan untuk membaca tentang Revolusi Rojava, daerah utara Suriah perbatasan dengan Turki. Masyarakat di sana hidup tanpa kelas, dan sistem produksi secara kolektifitas, hidup secara komunal. Islam sebagai mayoritas, juga ada Christian. Dengan Suku Kurdi dan Arab membaur tanpa mendiskriminasi satu sama lain. Bersama-sama melawan ISIS dan menjaga keamanan wilayah mereka.


P.S: That Guy adalah Suharto hahahaha

Post a Comment: